Duh jiwa di kejauhan yang tidak sempat ku kenal. Hari ini kau mengingatkanku pada kata-katamu dahulu ketika air mataku tumpah gara-gara rasa asin di ujung cangkir. Bukan masalah besar sebenarnya, tapi aku melihatnya dari sudut yang saat itu tidak kau lihat. Kau berkata, jiwaku hanya seluas cangkir yang gampang retak! Gampang terluka. Diriku si mungil yang susah sekali untuk diajak bersikap dewasa.
Kau yang menginginkan aku bersikap seperti sebuah danau, yang ketika ditaburkan segenggam garam kepedihan maka tidak akan menimbulkan perubahan pada rasanya yang tawar. Kau bahkan mengharapkan aku menjadi lautan, meskipun kepedihan yang asin memenuhi kehidupannya, tidak membuatnya menolak orang mencari kehidupan di kedalaman lautnya, meskipun dia dirusak dan disakiti.
Kau yang menginginkan aku bersikap seperti sebuah danau, yang ketika ditaburkan segenggam garam kepedihan maka tidak akan menimbulkan perubahan pada rasanya yang tawar. Kau bahkan mengharapkan aku menjadi lautan, meskipun kepedihan yang asin memenuhi kehidupannya, tidak membuatnya menolak orang mencari kehidupan di kedalaman lautnya, meskipun dia dirusak dan disakiti.
Kau yang kadang kuingat ketika menghadapi masalah yang membuatku bingung harus aku lihat dengan kacamata apa. Kadang masalah itu terasa sebesar gunung yang menutupi pandangan dan mempertaruhkan sebuah harga diri. Tapi kadang bisa juga hanya terasa seperti: Ah, cuma sepiring nasi aja kok! Ah, cuma secangkir air aja kok! Ah, cuma masalah dunia saja kok! Dan segala hal yang kadang bisa dianggap cuma, tapi bukan berarti percuma!
Kau di mana kini?
Kau di mana kini?